Fenomena Korupsi


FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG CABANG ILMU FILSAFAT : FILSAFAT ILMU, FILSAFAT MANUSIA DAN FILSAFAT MORAL
Nama Mahasiswa: Atika Dhea Nurwanda (17/414227/FI/04386)

I.                   LATAR BELAKANG MASALAH
A.          Permasalahan
Peneliti akan membahas tentang fenomena korupsi di Indonesia yang tidak kunjung selesai dan menjadi permasalahan bangsa. Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu, menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini juga membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari korupsi.
B.           Rumusan Masalah
1.   Bagaimanakah korupsi menurut sudut pandang Filsafat Ilmu dari aspek ontologi, epistmologi, dan aksiologi?
2.   Apa yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia?
3.   Bagaimana mengatasi masalah pemberantasan korupsi yang belum juga tertangani dengan baik?
C.           Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian yang berkaitan dengan judul proposal penelitian ini, ditemukan sedikitnya tiga judul penelitian mengenai etika pada mahasiswa, antara lain: (1). Praktek Korupsi di Indonesia dipandang dari segi filsafat moral , yang ditulis oleh Chamim Asma’ul Chusna (2). Fenomena Korupsi di Indonesia, yang ditulis oleh Lela Puspita Sari (3). Praktek Korupsi di Indonesia dari sisi Filsafat Manusia, oleh Dr. Sparta, CA.  (4). Korupsi dari sudut pandang Filsafat Ilmu, yang ditulis oleh Amar Suteja
      Penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian yang ada di atas. Penelitian pertama membahas mengenai Praktek korupsi yang terjadi di Indonesia dengan menelaah dari filsafat moral. Penelitian kedua lebih mengarah pada Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia. Kemuian penelitian yang ketiga lebih memfokuskan pada pembahasan Praktek Korupsi di Indonesia dari sisi filsafat manusia. Pada penelitian yang keempat membahas tentang korupsi dari sudut pandang filsafat ilmu. Sedangkan pada penelitian ini lebih mengacu terhadap Fenomena Korupsi di Indonesia dari sudut pandang filsafat ilmu.
      Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan sehingga sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, terbuka, rasional, dan objektif.

D.          Manfaat Penelitian
1.      Mengetahui arti korupsi dari aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi
2.      Mengetahui penyebab indonesia menjadi salah satu negara ter korup di dunia
3.      Memberikan solusi untuk mengatasi masalah pemberantasan korupsi yang belum tertangani dengan baik.

II.               TUJUAN PENELITIAN
Penlitian mengenai fenomena korupsi di Indonesia dari sudut pandang filsafat ilmu adalah untuk mengetahui korupsi menurut sudut pandang filsafat ilmu dari aspek ontologi, epistmologi, dan aksiologi. Selain itu untuk mengetahui menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dan cara mengatasi masalah pemberantasan korupsi yang belum juga tertangani dengan baik.
Penelitian ini secara tidak langsung dapat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dinamika korupsi yan ada di indonesia dan untuk menambah khsasanah literatur serta penelitian mengenai mahasiswa dimana masih terbatasnya penelitian mengenai fenomena korupsi dari sudut pandang filsafat ilmu.

III.      TINJAUAN PUSTAKA
Pemahaman pengertian korupsi di tengah masyarakat juga beragam. Tidak ada satu kata dalam hal pengertian korupsi. Menurut Baharudin Lopa (1987), pengertian umum dari korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau pereknomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Pengertian lain yang memberikan sudut pandang yang berbeda dari pendapat Lopa tersebut adalah pengertian korupsi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999). Pengertian korupsi menurut undang-undang ini adalah “ perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Termasuk pengertian korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Dari pengertian korupsi tersebut di atas terdapat beberapa kata kunci dalam pengertian korupsi yaitu “perbuatan”,”melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain”, “merugikan keuangan/perekonomian Negara”, “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya”, dan “menguntungkan diri sendiri” (Zoelva, 2008). Kata-kata kunci dalam pengertian hukum ini sering digunakan oleh pelaku korupsi untuk menjastifikasi tindakannya benar. Seperti menerima komisi dari supplier barang di tempat ia berkerja, sering dianggap sesuatu hal yang biasa. Karena tindakan ini tidak merugikan pihak lain karena supplier diuntungkan dengan proyek penjualan produknya, keuangan Negara tidak dirugikan karena uang komisi tersebut berasal dari supplier bukan dari Negara. Dan mereka menganggap hal ini bukan penyalahgunaan jabatan karena tidak ada pemaksaan yang dilakukan oleh yang bersangkutan terhadap supplier. Dengan kondisi ini ia akan menyatakan bahwa tindakan menerima komisi sah-sah saja dan sudah dianggap biasa dan wajar. Banyak para pegawai pemerintahan dan BUMN yang memberikan layanan jasa kemasyarakatan menganggap bahwa komisi (atau kadang disebut upeti) dianggap sesuatu yang wajar dan bukan korupsi seperti yang dimaksud dalam UU tersebut. Mereka menganggap bahwa upeti tidak ada paksaan, karena upeti diberikan oleh masyarakat sebagai ucapan terima kasih dan mereka juga tidak meminta upeti tersebut dari masyarakat yang telah mereka layani. Kelompok masyarakat lain menganggap upeti ini sebagai korupsi juga karena mereka telah menjual jasa layanan kepada masyarakat, padahal mereka telah digaji oleh pemerintah. Dan terindikasi menjual jabatan dan merugikan pihak lain.
Kita dapat melihat bahwa pemahaman tentang korupsi tidak sama diantara kelompok atau individu masyarakat. Hasil penelitian Pope (2003) menunjukkan bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan pemahaman bahwa pengertian perilaku korup tersebut sangat berbeda satu sama lain dari masyarakat tersebut. Bahkan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang korupsi (Zoelva, 2008). Kesulitan dalam memberikan pemahaman yang sama tentang korupsi tentu saja akan menyulitkan upaya-upaya untuk mencegah perbuatan atau praktek korup dari elemen atau individu masyarakat.
Pengertian korupsi yang tidak jelas dan lebih bersifat mempersempit pengertian korupsi itu sendiri telah menyulitkan dalam pemberantasan korupsi. Seorang pejabat Negara yang betul-betul melakukan tindakan tidak terpuji dengan menumpuk kekayaannya yang tidak sesuai dengan besaran gaji yang diterima selama ini, bisa saja divonis bebas oleh pengadilan dengan alasan yang tidak jelas. Alasan pembebasan koruptor dari jerat hukum adalah dengan interprestasi yang berbeda atas perilaku korupsi yang dinyatakan dalam UU anti korupsi tersebut. Sehingga perbuatan para pejabat dengan mendapatkan harta dengan tidak benar malah dibenarkan dengan alasan tidak merugikan Negara karena uangnya berasal dari upeti masyarakat. Dan kasus-kasus korupsi seringkali dianggap salah prosedur. Kasus-kasus korupsi Andi Ghalib yang sangat terkenal, pada akhirnya dibebaskan dengan alasan salah prosedur. Kasus terkini tentang penggelapan pajak oleh Gayus yang cukup menghebohkan hanya dihukum 6 tahun penjara saja. Praktek korupsi merupakan perilaku negatif manusia dengan mengorbankan makhluk lain dan sesama manusia. Imam Gazali seorang filsuf dan sufi Islam yang terkemuka mengecam keras filsuf muslim terutama ArRazi, ibnu Rusyd, dan ibnu Sina yang mendasarkan pendapatnya pada akal semata-mata (Suriasumantri, 2009).
Al Ghazali percaya adanya suprarasional, ”barangsiapa yang mengira bahwa penyikapan kebenaran tergantung sepenuhnya pada bukti-bukti yang dirumuskan secara tepat sesungguhnya telah mempersempit keleluasan rahmat Allah. Lebih jauh, Al Ghazali mengatakan bahwa ”Allah dapat memasukkan Nur langsung ke dalam hati hamba yang dicintaiNya”. Sesuai dengan pemikiran Ghazali ini, manusia bertindak tidak hanya berdasarkan akal semata. Apabila ini dilakukan oleh manusia, maka semua perbuatan yang dilakukan hanyalah berdasarkan akal yang mengarah kepada kemauannya sendiri, kesenangannya sendiri, kemauannya sendiri, yang kadang-kadang dapat berakibat baik dan buruk kepada alam dan sekitarnya. Termasuk juga manusia lain diluar manusia itu sendiri dapat ikut merasakan dampak perilaku dan tindakan manusia yang hanya didasarkan pada akal semata.
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya (Sani, 2007). Manusia adalah sebaik-baik makluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Manusia memiliki daya jangkau alam pikirannya yang melebihi makluk lain. Dengan kemampuan berpikir yang sangat tinggi, manusia mampu menciptakan karya yang dapat merubah dan memengaruhi cara hidup manusia di bumi ini. Namun manusia mempunyai kelemahan yang hakiki yaitu pengetahuannya tentang manusia itu sendiri sangatlah lemah. Sampai sekarang apa itu manusia masih terus dikaji oleh para filsuf. Bicara hakekat manusia dengan segala atributnya tidak pernah selesai sampai sekarang. Bagaimana kemampuan manusia mengetahui sifat Sang Penciptanya? Pengetahuan Pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang diriNya. (Sani, 2007).
IV.             LANDASAN TEORI

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption atau corruptus yang secara harfiah istilah tersebut diartikan sebagai suatu keburukan, kebusukan, atau ketidak jujuran. Menurut Transparency International korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus, pegawai negeri, yang secara tidak wajar/legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan (Mudrajad Kuncoro 2013). Jika dilihat definisi tersebut, ada tiga unsur penting dari pengertian korupsi. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, adanya keuntungan materi atau akses bisnis dari kekuasaan yang dipercayakan baik sektor publik ataupun sektor swasta. Ketiga, mementingkan kepentingan pribadi (tidak hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan tetapi juga anggota keluarga ataupun teman – temannya).
Seperti yang diketahui bahwa korupsi biasanya perilaku yang melibatkan penyalahgunaan pejabat publik atau kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Menurut (Shah & Shacter 2004), kategori korupsi meliputi tiga jenis: pertama, grand corruption yaitu sejumlah besar sumber daya publik dicuri dan disalahgunakan oleh segelintir pejabat publik. Kedua, state or regulatory capture yaitu lembaga publik dengan swasta memperoleh keuntungan pribadi dengan melakukan tindakan kolusi. Ketiga, bureaucratic or petty corruption yaitu sejumlah besar pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan sogokan kecil atau uang semir. Bureaucratic or petty corruption merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan yang biasanya dilakukan oleh pegawai negeri sipil biasa dan sering terjadi pada titik pelayanan publik seperti layanan imigrasi, polisi, rumah sakit, pajak, perizinan, ataupun sekolah. Sedangkan grand corruption dan regulatory capture biasanya dilakukan para elite politik ataupun pejabat pemerintah senior dalam menyalahgunakan sejumlah besar pendapatan dan fasilitas umum serta menerima suap dari perusahaan – perusahaan nasional maupun internasional dengan cara merancang kebijakan atau perundang undangan untuk keuntungan diri mereka sendiri.
      Dalam prakteknya mendefinisikan korupsi sangatlah sulit. Apakah suatu tindakan tersebut dikatakan korupsi atau tidak. Tetapi sebenarnya untuk menentukan suatu tindakan adalah korupsi atau tidak, peraturan formal cukup untuk melakukannya dan untuk mengukur korupsi dapat dilakukan dengan menghitung jumlah pejabat publik yang dihukum oleh pengadilan. Menurut (Facker & Lin 1995), tindakan korupsi merupakan tindakan melanggar hukum oleh aktor – aktor politik.
A.     Pola – pola korupsi
Menurut Fadjar, (2002) Terjadinya korupsi pada suatu lembaga atau instansi pasti memiliki pola – pola tertentu dalam pelaksanaannya. Pola terjadinya korupsi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan tertentu dengan pihak lain dengan cara sogok menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi, atau volume dan penggelambungan dana. Hal ini dikenal dengan Mercenery abuse of power. Biasanya penyalahgunaan wewenang seperti ini dilakukan oleh pejabat dengan level kedudukan yang tidak terlalu tinggi dan bersifat non politis.
Kedua Discretinery Abuse of Power, pejabat yang memiliki kewenangan istimewa seperti walikota/bupati menyalahgunakan wewenangnya dengan cara mengeluarkan kebijakan atau peraturan tertentu yang bias menjadikan pihak tersebut dapat bekerjasama dengan pihak tertentu. Ketiga Ideological Abuse of Power, biasanya pada pejabat untuk tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu demi mencapai jabatan strategis pada birokrasi atau lembaga eksekutif dan pada waktu yang akan datang mereka mendapatkan kompensasi atas tindakan tersebut.
Menurut Baswir (1993), Terdapat tujuh pola korupsi yang sering dilakukan oleh pelaku tindak korupsi baik pada kalangan swasta maupun pemerintah. Pola tersebut meliputi: pola konvensional, pola upeti, pola komisi, pola perusahaan rekanan, pola menjegal order, pola penyalahgunaan wewenang,dan pola kuitansi fiktif.
B.     Teori Korupsi
1.      Teori Utilitarianisme
Teori utilitarianisme tentang motivasi melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan manfaat yang akan diterima dan pengorbanan yang dilakukan. Ada tiga hal penting dari teori utilitarianisme yaitu: pertama, akibat atau konsekuensi dari suatu tindakan dijadikan acuan untuk menilai apakah suatu tindakan dinilai baik atau buruk. Kedua, satu – satunya hal penting dalam menilai konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan adalah manfaat yang diterima dan pengorbanan yang dilakukan untuk tindakan tersebut. Maka tindakan yang menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pengorrbanannya adalah tindakan yang benar. Ketiga, kebahagiaan seseorang tidak boleh dianggap lebih penting dari kebahagiaan orang lain. Asumsi tersebut dipergunakan untuk menghitung seberapa besar manfaat dan pengorbanan yang dihasilkan. Dengan kata lain kebahagiaan setiap orang sama pentingnya (Nugroho 2012). Maka tindakan ini memungkinkan seseorang melakukan apa saja asalkan hal itu membawa kebahagiaan.
Jika dilihat pada kenyataannya, paham utilitarianisme telah diterapkan pada pihak – pihak yang berada pada lembaga pemerintah karena menurut pihak – pihak tersebut korupsi mendatangkan manfaat yang lebih besar daripada pengorbanan yang harus dilakukan. Koruptor hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan efek dari perbuatannya terhadap orang lain apalagi perekonomian pada skala yang lebih luas.
2.      Teori Principal - Agent
Principal-Agent adalah suatu hubungan dimana satu atau beberapa orang sebagai principal mengikat orang lain sebagai agen dengan memberikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan kepada agen. Teori ini karena menganggap munculnya korupsi disebabkan oleh Asymetric Information yang terjadi antara principal dan agen (Nugroho, 2012). Para ahli ekonomi menggunakan teori ini untuk menganalisis masalah – masalah yang terjadi seputar dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi pada suatu instansi (Yulianita, 2013).
Dalam hal ini biasanya terjadi dua macam problema pada saat kedua pihak pada situasi yang tidak selaras dengan asumsi kedua pihak adalah rational economic maximizing individual. Pertama, terdapat kecenderungan pada agen untuk memaksimalkan utilitynya karena mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Kedua, adanya asimetri informasi antara legislatif sebagai agen dengan masyarakat sebagai principal. Asymetric information tersebut terjadi dikarenakan agen memiliki informasi yang lebih dibandingkan dengan principal dan hal tersebut akan menimbulkan moral hazard atau dysfunctional behavior (Indrawati, 2010).
Negara Indonesia yang menganut azas demokrasi berarti dalam hal ini principal utama adalah rakyat dan legislatif sebagai perwakilan rakyat karena keberadaannya dipilih oleh rakyat. Jadi berdasarkan hubungan principal–agent, maka legislatif memiliki peran sebagai agen yang terkait kontrak untuk mewakili kepentingan rakyat sebagai principal. Tetapi pada kenyataannya legislatif tidak pernah bertanggung jawab langsung pada masyarakat tetapi hanya bertanggungjawab diantara para legislatif saja dan Legislatif yang terpilih untuk mewakili rakyat dapat dengan mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai kepentingan rakyat (Moe, 1984) .
Tidak hanya legislatif dengan memiliki informasi lebih banyak yang melakukan moral hazard, tetapi eksekutif dan instansi pemerintah yang berperan sebagai agen juga ikut melakukannya. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi belanja rutin untuk kepentingan eksekutif ataupun pihak yang bekerja pada instansi pemerintah yang jumlahnya rata – rata lebih besar daripada belanja untuk pembangunan yang merupakan hasil nyata untuk rakyat. Beraati eksekutif dan pihak instansi pemerintah masih lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat dengan memanfaatkan asymetric information yang terjadi dan kekuasaan yang ada padanya (Moe, 1984).
Menurut Jack Bbologne, korupsi terjadi karena hubungan empat komponen yaitu: greedy, opportunity, needs, exposes. Greedy terkait dengan kerakusan dan keserakahan dari pelaku korupsi karena seseorang yang melakukan korupsi pastinya memiliki rasa tidak puas akan keadaan dirinya. Needs berhubungan dengan sikap mental yang selalu merasa kekurangan dan selalu ingin memenui keinginannya yang tidak pernah usai. Opportunity berkaitan dengan system yang memberikan peluang untuk melakukan korupsi sehingga dengan adanya peluang tersebut membuat seseorang cenderung melakukan korupsi. Exposes terkait dengan tidak timbulnya efek jera dari hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi.
3.      Teori Biaya - Manfaat
Analisis korupsi dengan menggunakan teori biaya – manfaat. Merupakan seseorang yang melakukan korupsi dengan sebelumnya mempertimbangkan biaya dan manfaatnya. Dalam hal ini manfaat yang dimaksud adalah harta atau keuntungan dari korupsi. sedangkan biayanya adalah hukuman penjara yang diterima jika melakukan korupsi. (Becker, 1968).  Pendapat yang serupa juga dipaparkan oleh Ramirez Torres, ia mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi bukan hanya sekedar keinginan. Seseorang melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman yang didapat dengan kemungkinan tertangkapnya kecil.
C.     Dampak Korupsi
Korupsi memiliki dampak yang besar terhadap berbagai aspek terutama dilihat dari aspek ekonomi. Menrut (Eric dkk, 2003), korupsi memiliki dampak terhadap kemiskinan yang kemudian dapat dijelaskan melalui dua model yaitu model pemerintahan dan model ekonomi. Model pemerintahan menjelaskan bahwa korupsi mengikis kapasitas lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas, menurunkan kepatuhan terhadap peraturan
Keselamatan dan kesehatan, meningkatkan tekanan anggaran pemerintah, serta mengalihkan investasi publik jauh dari kebutuhan publik utama dalam proyek-proyek modal (dimana suap dapat terjadi). Sedangkan model ekonomi menjelaskan bahwa korupsi menciptakan inefisiensi dengan meningkatkan biaya untuk berbisnis, mengurangi investasi, mendistorsi pasar, menghalangi kompetisi, dan meningkatkan kesenjangan pendapatan. Sehingga akan menciptakan ketidak adilian, melemahkan demokrasi, membuat yang kaya menjadi lebihkaya dan mendukung para diktator, menyebabkan berkurangnya investasi domestik dan asing, mengurangi penerimaan pajak dan melemahkan jiwa wirausaha, menghambat penyediaan barang publik, melemahkan pertumbuhan ekonomi, mengganggu sistem jaminan sosial, dan akan meningkatkan kemiskinan terutama di negara negara sedang berkembang.
Korupsi menurut Mauro memiliki empat dampak yaitu:
1.   Korupsi melemahkan investasi sehingga mengurangi pertumbuhan ekonomi.
2.   Korupsi menyebabkan terjadinya talent miss alocated (menempatkan orang bukan pada tempatnya).
     Korupsi menyebabkan pengalokasian yang tidak tepat seperti hibah dan pinjaman luar negeri
4.   Kuantitas dan kualitas penyediaan barang dan jasa publik tidak memadai karena korupsi mengakibatkan penerimaan pemerintah dari pajak berkurang sehingga mempengaruhi komposisi pengeluaran pemerintah. (Mauro, 1997)
Ada beberapa alasan mengapa korupsi menghambat pertumbuhan (Vizto, 1998). Pertama, korupsi mendistoesi insentif. Individu-individu dalam masyarakat yang korup tidak melakukan aktivitas yang produktif melainkan melakukan aktivitas rent-seeking. Kedua, korupsi mengurangi kemampuan pemerintah dalam pengawasan untuk memperbaiki kegagalan pasar bahkan mungkin akan memperburuk kegagalan pasar. Ketiga, korupsi mengurangi bahkan merusak fundamental pemerintah dalam menegakkan perlindungan hak milik. Peran fundamental pemerintah terdistorsi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tergantung ketika ketika seseorang dihalangi untuk menuntut hak kepemilikannya, atau seseorang yang lain dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas kontrak karena korupsi. Keempat, korupsi menyebabkan beban materi yang sangat besar karena biaya mencari birokrat-birokrat penerima suap juga harus dimasukkan dengan biaya negosiasi dan pembayaran suap. Apalagi kesepakatan-kesepakatan yang didasari suap sangat rentan untuk dilanggar jika melibatkan birokrat yang cukup banyak. Pada kondisi ini korupsi berperan sebagai pajak arbiter.
Rimawan Pradiptyo menyatakan terdapat beberapa dampak korupsi:
1.   Misallocation of resources sehingga perekonomian tidak dapat berkembang secara optimum.

2.   Biaya sosial korupsi tidak saja dari besarnya uang yang dikorupsi (biaya eksplisit korupsi), namun juga mencakup perbedaan multiplier ekonomi jika uang tersebut tidak dikorupsi dibandingkan dengan jika uang tersebut dikorupsi (biaya implisit korupsi atau opportunity cost).
3.   Dampak korupsi tidak sebesar jika uang hasil korupsi dicuci keluar negeri selama uang hasil korupsi tidak dicuci keluar negeri. (Rimawan , 2012)
Banyak yang menjelaskan tentang apa itu korupsi. Namun, pengertian korupsi yang paling umum dan menjadi standar dalam studi empiris tentang korupsi adalah “Corruption is the misuse of public office for private gain” (Sandholtz, 2003). Pengertian ini lebih menekankan pada praktik korupsi di birokrasi, yaitu perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Transparency International menyatakan korupsi yang dilakukan birokrasi memiliki dampak negatif yang lebih signifikan terhadap pembangunan ekonomi secara nasional dibandingkan korupsi yang dilakukan sektor bisnis ataupun masyarakat.
Namun, kurang komprehensif jika masalah korupsi hanya menjadi milik birokrasi saja. Dalam cakupan yang lebih luas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 2001) memuat definisi korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi tidak lagi terbatas dalam tataran pemerintahan, tetapi lebih luas seperti pada perusahaan dan masyarakat. (KBBI, 2001)
Ini didukung oleh pernyataan Brooks pakar korupsi internasional, yang mengatakan korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.” Menurut Brooks ini, korupsi ditempatkan sebagai perilaku merugikan yang dilakukan seseorang atau beberapa pihak, yang tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. (Alatas, 1987)
Perilaku korupsi dapat timbul dan dimiliki oleh siapa saja, tak terkecuali. Ini karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat3 . Dengan demikian, korupsi pun bukan lagi menjadi masalah pemerintah saja, melainkan masalah keseluruhan komponen bangsa, seperti yang dialami bangsa Indonesia saat ini.
Leslie Palmier mengidentifikasi tiga penyebab korupsi di Indonesia, yaitu kesempatan, gaji, dan peraturan. Maksudnya, dengan kesempatan yang sedikit, gaji yang baik dan peraturan yang efektif, korupsi akan minimal. Begitu juga sebaliknya. Adapun bentuk praktik korupsi, sebagaimana diterangkan oleh Admunsen (2000) adalah (1) bribery (penyuapan), (2) embezzlement (penggelapan/ pencurian), (3) fraud (penipuan), (4) extortion (pemerasan), dan (5) favouritism (favoritisme). Dari kelima bentuk praktik korupsi ini, yang relatif lebih berbahaya dan lebih luas adalah fraud karena ada kerjasama antar pejabat/instansi dalam menutupi satu hal kepada publik yang berhak mengetahuinya. (Quah, 1999)
Lantas, dalam pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi, setidaknya minimal ada dua pihak yang terlibat, yaitu penindak (enforcer) dan pelanggar (offender). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penindak korupsi bisa bermacam-macam, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK. Penindak korupsi ini berfungsi untuk melakukan berbagai upaya untuk menjadikan Indonesia bersih dari korupsi. Adapun pelanggar (offender) adalah warga negara yang menjadi obyek korupsi, entah yang sudah maupun yang berpotensi, yang berada dalam lingkungan pemerintahan. Walaupun begitu, offender juga tidak menutup kemungkinan berasal dari warga negara secara lebih umum, yaitu sektor bisnis dan atau masyarakat. penindak (enforcer ) kepada pelanggar (offender) tidak berjalan secara efektif dan efisien. Bahkan, seringkali menemui kegagalan. Pusat Kajian Administrasi Indonesia (PKAI) (2007) menemukan terjadi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pada dua lingkup utama instrumen pemberantas korupsi, yaitu dalam hal perundang-undangan antikorupsi dan lembaga penindak korupsi. Banyak terjadi disharmonitas antar perundang-undangan korupsi, yang memungkinkan enforcer tidak bisa menindak offender. Dan, sering juga terjadi persepsi yang berbeda antar lembaga perangkat penindak korupsi (enforcer) yang menjadikan sebuah kasus korupsi diinterpretasikan secara berbeda, sehingga memperlakukan pelanggar (offender) di mata hukum secara berbeda pula. Dua masalah besar ini menjadikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak optimal.
Upaya penindak (enforcer ) kepada pelanggar (offender) tidak berjalan secara efektif dan efisien. Bahkan, seringkali menemui kegagalan. Pusat Kajian Administrasi Indonesia (PKAI) (2007) menemukan terjadi ketidakefektifan dan ketidakefisienan pada dua lingkup utama instrumen pemberantas korupsi, yaitu dalam hal perundang-undangan antikorupsi dan lembaga penindak korupsi. Banyak terjadi disharmonitas antar perundang-undangan korupsi, yang memungkinkan enforcer tidak bisa menindak offender. Dan, sering juga terjadi persepsi yang berbeda antar lembaga perangkat penindak korupsi (enforcer) yang menjadikan sebuah kasus korupsi diinterpretasikan secara berbeda, sehingga memperlakukan pelanggar (offender) di mata hukum secara berbeda pula. Dua masalah besar ini menjadikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak optimal. (PKAI, 2007)
V.               METODOLOGI PENELITIAN

A.    Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan. Data yang digunakan menggunakan data sekunder. di mana data tersebut digunakan sebagai landasan dan premis-premis yang dibangun dalam menjawab kesimpulan dan saran. Data didapatkan dari berbagai macam sumber, seperti buku, jurnal, majalah, artikel yang didapatkan baik melalui media perpustakaan maupun internet. Setelah data yang didapatkan dirasa cukup, selanjutnya penulis melakukan seleksi sumber-sumber yang relevan dengan tema yang diangkat.
B.     Jalan Penelitian
1.      Mengumpulkan data dengan mengumpulkan data-data berupa buku, artikel, jurnal, makalah, laporan penelitian yang berkaitan dengan objek penelitian yang dikaji baik objek material maupun objek formal penelitian, yaitu tentang konsep tentang kerusakan ekosistem laut, lingkungan, etika lingkungan, dan lain sebagainya.
2.      Melakukan klasifikasi data yang telah diperoleh untuk dikelompokkan sebagai data primer dan data sekunder.
3.      Melakukan perumusan analisis hasil data dari data primer dan data sekunder serta data.penunjang lainnya yang sudah diklasifikasi,. sehingga diperoleh .pemahaman dalam menentukan arah penelitian.
C.    Analisis Hasil
Analisis hasil penelitian memakai metode Hermeneutika Filsafat dengan unsur metodis sebagai berikut:
1. Deskripsi
Suatu metode dengan menguraikan secara sistematis pengertian Korupsi. Dalam hal ini penulis berupaya mendeskripsikan, menggambarkan, dan melukiskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai faktor-faktor, serta sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki tersebut. Metode deskripsi ini merupakan salah satu metode yang digunakan peneliti dalam menggambarkan segala hal yang berkaitan dengan pokok pembahasan sekaligus memaparkan secara maksimal mengenai fenomena korupsi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan mengenai korupsi dari berbagai sudut pandang di dalam ilmu filsafat.
2. Deduktif-Induktif
Penulis berusaha menangkap makna esensial dari sudut pandang filsafat ilmu dalam memandang fenomena korupsi berdasarkan dari segi epistimologi, ontologi dan aksiologi. Selain itu penulis juga menangkap makna esensial dari sudut pandang filsafat manusia dan filsafat moral. Makna yang terkandung  dari hasil penelitian dari sudut pandang filsafat yang terdiri dari filsafat ilmu, filsafat manusia, dan filsafat moral yang ketiganya merupakan cabang dari ilmu filsafat mampu membenahi atau memberantas korupsi yang sudah menjadi kebiasaan rakyat Indonesia terkhusus para pejabat pemerintahan.
3. Analisa-Sintesa
Penulis menguraikan konsep dari teori korupsi hingga pola-pola korupsi dengan tujuan pembelajaran untuk pembaca agar mengetahui bahwa korupsi merupakan tindakan melanggar hukum. Kemudian menggabungkan dan menyatukan gagasan-gagasan dari epistimologi, ontologi, dan epistimologi korupsi. Karena dengan mengetahui apa sebenarnya arti dari korupsi itu sendiri akan mempermudah kita untuk memikirkan cara menanggulanginya.
4. Historis
Metode ini penulis gunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan makna serta kejadian dibalik peristiwa sejarah di mana korupsi sudah membabi buta di Indonesia.
VI.           DAFTAR PUSTAKA
Lopa, Baharuddin dan Moh Yamin, 1987, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No.3 tahun 1971) Berikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni, Bandung.
Pope, Jeremy, 2004, Strategi Memberantas Korupsi elemen Sistem Integrasi Nasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia.
Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, Pustaka Filsafat, Yogjakarta.
Sani, Muhammad Abdul Halim, 2007, Filsafat Manusia, siapakah manusia?, Teori-teori Social, dari ilmu social sekuleristik menuju ilmu social intergralistik, http://halimsani.wordpress.com/2007/09/06/filsafat-manusiasiapakah-manusia/.
Suriasumantri, Yuyun S.,2007, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Zoelva, Hamdan, 2008, Fenomena Korupsi di Indonesia dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu, File under: Pemikiran – Hamdanzoelva, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/
Hardiman, Budi, 2004, Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Walters, Donald, 2003, Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Semiawan, Conny, 2005, Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta.
Muslih, 2005, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta.
Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta.
Bank Dunia (The World Bank), 2003, Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank Dunia Jakarta.
United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Departemen     Pendidikan      Nasional, 2001, Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia.  Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Pradiptyo, Rimawan, 2007). “Does Punishment Matter? A Refinement of the Inspection Game”, Review Law & Economics, Diakses dari http://www.bepress.com/rle/vol3/iss2/ art2 pada 16/04/2018 Pukul 19.07.
Pusat Kajian Administrasi Internasional, 2007, Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Quah, Jon, 1999, “Corruption in Asian Countries: Can It Be Minimized?” Public Administration Review, Vol. 59, No. 6, pp. 483-494, Diakses dari http://www.jstor. org/stable/3110297 pada 23/04/2018 pukul 20:43
Alatas, 1987 , Korupsi:  Sifat,  Sebab,  dan Fungsi, LP3ES, Jakarta
Becker, G.S,  1968, “Crime and Punishment: An Economic Approach,” Journal of Political Economy 1-13.
 Rianto, Bibit, 2009,  Koruptor Go To Hell! Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia,  Hikmah, Jakarta.

Komentar

Postingan Populer